Kamis, 06 Desember 2012

Tentang Pendidikan Berkarakter

Pendidikan berkarakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
dan dikelompokkan menjadi lima nilai utama;
1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
a. Religius
Pikiran, perkataan dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agama


2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
a. jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinyasebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain
b. Bertanggung jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan YME.
c. Bergaya hidup sehat
Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.
d. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
e. Kerja keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.
f. Percaya diri
Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya.
g. Berjiwa wirausaha
Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.
h. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
Berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki.
i. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
j. Ingin tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
k. Cinta ilmu
Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.


3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
a. Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
Sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.
b. Patuh pada aturan-aturan sosial
Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturanberkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.
c. Menghargai karya dan prestasi orang lain
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
d. Santun
Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.
e. Demokratis
Cara befikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kwajiban dirinya dan orang lain


4. Nilai Karakter dalam hubungannya dengan lingkunga
a. Peduli sosial dan lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingi memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.


5. Nilai kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
a. Nasionalis
Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
b. Menghargai keberagaman
Sikap memberikan respek/ hormat terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.


Dengan diterapkannya pendidikan berkarakter diharapkan siswa akan lebih mampu memecahkan masalah sosial yang dihadapinya, karena bukan hanya memiliki kemampuan teknis-akademis melainkan juga memiliki kemampuan interaksi sosial



Sumber : Dunia Guru

Senin, 11 April 2011

Pembaharuan Pendidikan dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Nasional

Dalam rentang waktu yang cukup panjang, dewasa ini, kualitas pendidikan nasional Indonesia tampak kurang berorientasi ke masa depan dan dianggap kurang berhasil untuk dijadikan bekal bagi rakyat Indonesia (yang dalam hal ini merupakan produk dari sistem pendidikan nasional) dan bangsa Indonesia, untuk nantinya dapat hidup lebih layak di masa depan, yang diperkirakan nantinya akan semakin rumit, penuh tantangan dan persyaratan yang lebih berat serta kompetitif secara global.

Harus diakui bahwa praktek pembagunan yang dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah bagi kualitas pendidikan nasional yang ada sekarang sangat tidak seimbang dengan cita cita luhur yang diamanatkan oleh Undang -Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dipadu selaras dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang menghasilkan suatu visi indah yaitu, “Terwujudnya Manusia Indonesia yang Cerdas, Produktif dan Berakhlak Mulia“, sangat berbanding terbalik dengan kondisi bermasalah pendidikan nasional yang ada dan kualitasnya makin dipertanyakan, sehingga kemungkinan visi indah dari pendidikan nasional, hanya akan menjadi susunan kata kata indah tanpa makna, kalau tidak mau dikatakan omong kosong!.

MASALAH DARI PENDIDIKAN YANG ADA
Masalah masalah seperti; Kurangnya Pemerataan kesempatan pendidikan, permasalahan kurikulum pendidikan (kasus terbaru dari carut marut permasalahan kurikulum adalah, kontroversi ujian nasional yang semakin seru kasusnya tiap tahun, seperti film action atau horor?) rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, kurangnya persiapan dan penyediaan tenaga pengajar yang kompeten (kasus terbaru kualifikasi dan sertifikasi bagi tenaga pengajar dan guru, dengan ragam permasalahannya yang untuk saat ini sifatnya masih timbul tenggelam), kurangnya pemeliharaan ataupun penyediaan dan pemerataan penyediaan fasilitas utama dan fasilitas tambahan untuk menjalankan sistem pendidikan, yang notabene erat relevansinya dengan pencapaian kualitas pendidikan yang baik, dan lain sebagainya, sebenarnya merupakan masalah masalah klasik yang tidak pernah benar benar diselesaikan oleh Negara, dalam hal ini Pemerintah, walaupun sudah beberapa kali berganti ganti orde, yang akhirnya menjadi semakin kompleks sehingga menjadi ”jaringan setan” yang rumit penyelesaiaanya. PEMBARUAN TERHADAP PENDIDIKAN Agar ”jaringan setan” kualitas pendidikan nasional tidak semakin besar dan kompleks, sekaligus untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional maka sangat diperlukan suatu kesadaran bagi pemerintah khususnya dan segenap rakyat Indonesia untuk membuat suatu kesadaran terhadap pentingnya pembaruan terhadap pendidikan nasional.

Ada empat langkah yang dapat dilakukan, tetapi yang terpenting dari pelaksanaan empat langkah ini, diserahkannya andil terbesar kepada para cendikiawan pendidik yang kompeten, dapat beserta lembaga pendidiknya juga, untuk melakukan pelaksanaan empat langkah pembaruan ini, dari strategi konsepnya, sampai tatacara pelaksanaannya, disini pemerintah hanya lebih sebagai pendukung dan fasilitator, sehingga jika ada hal hal yang dianggap kurang ”sreg” dari pemerintah terhadap apa yang dilakukan oleh para cendikiawan ini maka jalan keluarnya adalah hasil keputusan bersama yang hanya bisa dilakukan dengan jalan kompromi bersama secara transparan lewat musyawarah dan mufakat secara adil, jujur dan bijaksana, tidak lupa mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara.

Kembali kepada empat langkah pembaharuan tadi maka langkah langkah tersebut yaitu; Pembaruan ini sepatutnya diawali dari meningkatkan kepercayaan umum dan penanaman konsep ”mutlak” bahwa pendidikan adalah hak sekaligus kewajiban penting yang harus dijalankan oleh segenap rakyat Indonesia untuk modal menjadi manusia seutuhnya dimasa depan.

Tugas awal ini sepatutnyalah dibebankan kepada para cendikiawan pendidikan yang kompeten, pemerintah tidak boleh ikut campur hanya boleh memfasilitasi dan mensosialisasikan hal ini melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah langkah awal ini berjalan dengan semestinya maka dapat disusul dengan langkah pembaruan kedua yaitu; meningkatkan kualitas pendidikan dengan meningkatkan kemampuan dari sumber sumber tenaga, uang, sarana dan prasarana termasuk struktur dan prosedur organisasi dimana keseluruhan sistem yang ada harus solid bekerjasama agar tujuan pencapaian kualitas yang direncanakan dapat dicapai sebaikbaiknya, disini pemerintah mempunyai andil lebih dari langkah pembaruan awal; karena diperlukan adanya aspek aspek legalitas yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah, tetapi tetap saja pemegang kendali dari langkah kedua ini tetap yang terbesar adalah para cendekiawan pendidik.

Langkah ketiga adalah menyusun tujuan secara bertahap dan sistematis, secara periodik mengenai pembaruan apa saja yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional, sekaligus meningkatkannya, tujuan yang direncanakan haruslah terinci, dan disertai langkah langkah kongkrit, agar dapat dirumuskan suatu ”frame” baku mengenai cara pelaksanaan pencapaian tujuan tersebut, diberbagai wilayah diseluruh Indonesia, yang notabene akan terdapat kasus dan permasalahan yang menghadang pencapaian tujuan tersebut yang sifatnya serupa tapi tak sama, karena itulah yang diperlukan adalah suatu ”frame” atas langkah kongkrit yang harus dilaksanakan. Sedangkan langkah keempat sekaligus terakhir adalah, evaluasi sekaligus pertanggungjawaban yang dapat berupa pembacaan laporan dan sebagainya, yang diberikan secara periodik kepada pemerintah atau dibacakan di depan sidang DPR, dan untuk rakyat maka sudah seharusnya laporan pertanggung jawaban beserta evaluasinya dimasukan dalam koran terbitan nasional, agar dapat diketahui seluruh rakyat Indonesia.


Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://www.kabarindonesia.com/

Peningkatan Kualitas Pendidikan di Indonesia

Albert Einstein pernah berkata bahwa, “Education is what remains after one has forgotten everything he learned in school.” Begitu pentingnya pendidikan sehingga seorang Einstein pun sampai berkomentar tentang pentingnya pendidikan. Tanpa pendidikan, taraf hidup serta standar kualitas seorang manusia bisa dikatakan akan berdampak buruk. Seseorang yang memperoleh pendidikan yang semakin tinggi tentunya akan mempunyai kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan mereka yang hanya tamat sekolah dasar.
Setiap negara diseluruh dunia begitu menekankan pentingnya kualitas pendidikan. Salah satu langkah konkret untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan menetapkan anggaran pendidikan yang lebih besar dibandingkan anggaran lainnya. China dan Korea Selatan menjadi dua negara yang begitu menekankan pentingnya pendidikan bagi rakyatnya. Anggaran pendidikan di China mencapai 13,1% dari anggaran negara, sedangkan di Korea Selatan anggaran pendidikan negara mencapai 18,9%. Bandingkan dengan Indonesia yang memang menganggarkan anggaran pendidikan sebesar 20%, namun pada prakteknya masih jauh dari kenyataan.
Bisa dibilang bahwa salah satu penyebab banyaknya pengangguran di Indonesia adalah karena kesalahan pada sistem pendidikan serta pelayanan dalam kegiatan belajar mengajar. Kita akan dengan mudahnya mendengar pergantian kurikulum pada setiap pergantian menteri. Tidak bakunya standar pendidikan kita juga menyebabkan ketidapastian dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan. Bahkan untuk menetapkan standar kelulusan pun Indonesia masih sering kebingungan. Tidak hanya sekedar masalah kurikulum, kualitas pengajar pun bisa dibilang tidak sesuai dengan standar yang seharusnya. Kebanyakan para guru yang ditugaskan oleh tiap sekolah untuk memberikan transfer ilmu seperti kebingungan dalam mengajar. Entah karena bingung dengan standar pendidikan yang selalu berubah atau karena memang tidak ahli dalam bidang yang diajarkan.
Setelah mengungkit masalah kualitas pendidikan, masalah kualitas pelayanan pendidikan pun bisa dibilang sangat memprihatinkan. Masih banyaknya bangunan sekolah yang sangat buruk kondisinya. Sekolah-sekolah yang beratapkan langit pun sering kita temui. Lantainya pun terbuat langsung dari tanah, serta tidak cukupnya buku-buku yang seharusnya didapatkan oleh setiap siswa. Belum lagi mahalnya biaya sekolah dan kuliah yang menyebabkan banyak orangtua yang enggan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Padahal kita semua tahu bahwa pendidikan merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia. Inilah realita yang dialami dunia pendidikan di Indonesia.
Kondisi diataslah yang menghambat Indonesia untuk bisa bangkit mengatasi masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia serta tingginya angka pengangguran. Minimnya kualitas dan fasilitas pendidikan tentunya berdampak secara signifikan terhadap kualitas manusia itu sendiri. Begitu banyaknya masalah yang dihadapi pemerintah tentunya tidak bisa kita selesaikan secara cepat.
Walaupun begitu, pemerintah harus bisa membuat prioritas dalam upaya perbaikan kualitas manusia Indonesia. Realisasi anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari total APBN negara harus bisa segera direalisasikan oleh pemerintah. Jangan sampai anggaran yang telah besar ini justru dikorup oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Penetapan sistem pendidikan yang baku serta tidak harus berubah pada setiap pergantian menteri harus bisa menjadi target pemerintah. Hal ini bisa memberikan kepastian bagi setiap pengajar dan sekolah. Kelengkapan fasilitas serta pemerataan kualitas pendidikan bagi setiap warga negara, khususnya daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Daerah-daerah seperti ini seharusnya menjadi fokus pemerintah karena banyak sekali masyarakat yang tidak memperoleh hak mereka dalam memperoleh pendidikan. Terakhir, perbaikan kualitas para pendidik pun harus bisa diperhatikan oleh pemerintah. Jangan sampai para guru yang mengajari para calon pemimpin bangsa ini justru merupakan orang-orang yang tidak mengerti apa yang mereka ajarkan. Inilah beberapa hal yang harus segera dilakukan pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah SDM di Indonesia.

Minggu, 13 Februari 2011

Pendidikan di Pedalaman Papua Memprihatinkan

Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan. Baik dalam jangka menengah atau pun dalam jangka panjang. Namun, masih banyak masyarakat miskin yang memiliki askes terbatas dalam memperoleh pendidikan yang bermutu, dan yang lebih memprihatinkan mereka sama sekali tidak mendapatkan pendidikan.

Hal ini juga dapat disebabkan antara lain karena mahalnya biaya pendidikan, tidak adanya perhatian dari Pemerintah Pusat atau pun Pemerintah Daerah terhadap saudara-saudara kita yang tinggal di daerah Pedalaman Papua. Khususnya Kabupaten Paniai.

Apakah hal ini disebabkan karena sulitnya sarana transportasi yang menghubungkan daerah Kabupaten dengan daerah di distrik-distrik yang ada di wilayah Kabupaten tersebut? Ataukah memang tidak ada guru-guru yang mau ditempatkan di wilayah pedalaman atau pun daerah terpencil untuk mau mengajarkan masyarakat miskin agar mengenal ilmu pendidikan?

Atau juga tidak adanya perhatian Pemerintah terhadap tambahan tunjangan pedalaman atau tambahan lainnya kepada guru-guru yang telah mengajar dan mengabdi di daerah terpencil?

"Bagaimana para guru-guru dapat melakukan pelayanan pendidikan di pedalaman kalau kebutuhan hidup sehari-hari sudah susah dan tidak terpenuhi akibat mahalnya kebutuhan hidup di pedalaman sehingga hal ini sangat berdampak terhadap segala akses".

Pernyataan tersebut dilontarkan Kenny Ikomou. Anggota DPRD Kabupaten Paniia yang membidangi pendidikan setelah melakukan kunjungan kerja di beberapa distrik diwilayah Paniai belum lama ini.

Dia menilai kemiskinan dan pengangguran di tengah masyarakat pedalaman di Paniai dan Nabire tidak pernah dipermasalahkan. Seolah-olah masyarakat telah mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai. Tapi, kini realitasnya sungguh terbalik.

Saat ini mereka tidak mendapatkan akses pendidikan. Berbahasa Indonesia pun tidak mengerti. Apalagi mengenal dan tahu membaca dan berhitung. Hal ini pun mengakibatkan mundurnya dunia pendidikan di kabupaten tersebut. Memang angka kemiskinan dan pengangguran di Kabupaten ini tak kalah membuat miris orang-orang yang peduli.

Mana penyebab dan mana akibat? Ibarat lingkaran setan keterpurukan ekonomi dan pendidikan memang sebuah tantangan besar yang saling mempengaruhi. Buruknya perangkat keras pendidikan (ruang belajar dan sekolah, buku, pustaka, dan laboratorium yang kurang), diperparah lagi oleh buruknya kualitas perangkat lunak (kurikulum compang-camping dan gonta-ganti, manajemen pendidikan sekolah yang belum profesional) serta masih kurangnya jumlah dan kualitas guru.

Keterpurukan ini berlangsung di tengah-tengah mengalirnya dana yang sangat besar di kabupaten tersebut. Dengan demikian dana besar tidak menjamin peningkatan mutu pendidikan Karena peningkatan mutu pendidikan hanya merupakan jargon semata bagi pemda dan elit pemerintahan yang sibuk ber-KKN ria.

Karena itu, tutur masyarakat seharusnya tidak perlu berharap banyak pada aparatur pemerintah untuk setia menjadi pelayan mereka. Sudah terlalu banyak bukti bahwa jajaran birokrasi hanya menggunakan masalah rakyat untuk kepentingannya. Bukan untuk mengatasi masalah rakyat itu sendiri.

Dan rakyat tidak perlu khawatir bahwa mereka akan menderita tanpa perhatian pemerintah. Toh, selama ini mereka sudah hidup termasuk hidup menderita. Tanpa pelayanan yang berarti dari pemerintah.

Pemerintah memang telah mengganggarkan dana pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN. Tapi, ketika dunia pendidikan telah memasuki era neoliberal pendidikan dana sebanyak itu menurut sebagian kalangan masih terasa kurang. Kita memang patut sadar bahwa masih banyak sektor-sektor publik lain yang harus diperhatikan oleh Pemerintah ketika membuat kebijakan-kebijakan liberalisasi.

Meskipun demikian diakuinya kebijakan yang dapat mendorong majunya dunia pendidikan harus diperioritaskan oleh pemerintah. Khususnya pada persoalan dana, akibatnya, timbullah pendidikan yang mahal dan komersialisasi pendidikan di Negara ini.

Siapa yang bertanggung jawab? Alih-alih membicarakan persoalan pendidikan yang mahal maka siapa pun akan menyalahkan pemerintah di negeri ini. Oleh sebab itu untuk membebaskan masyarakat dari belenggu mahalnya pendidikan saat ini merupakan tanggung jawab pemerintah. Dalam konteks ini masyarakat patut berbangga. Karena pemerintah daerah tidak membebankan uang pendaftaran masuk ke sekolah negeri. 



Sumber :
Oktovianus Pogau
Jl Christina Martha Tiahahu
Kelurahan Kalibobo Nabire
oktovianus_pogau@yahoo.co.id
0984 23444

PEMERATAAN AKSES PENDIDIKAN MASYARAKAT MISKIN SEBAGAI SOLUSI PEMBANGUNAN DI INDONESIA

PENGARUH PENDIDIKAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA
Pada era globalisasi peluang untuk memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan dari suatu negara akan semakin besar jika didukung oleh SDM yang memiliki: (1) pengetahuan dan kemampuan dasar untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dan dinamika pembangunan yang tengah berlangsung; (2) jenjang pendidikan yang semakin tinggi; (3) keterampilan keahlian yang berlatarbelakang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek); dan (4) kemampuan untuk menghasilkan produk-produk yang, baik dari kualitas maupun harga, mampu bersaing dengan produk-produk lainnya di pasar global. Menurut McRay (1994), fenomena kemajuan ekonomi bangsa-bangsa di Asia Timur pada dasarnya merujuk pada faktor-faktor: (1) keluwesan untuk melakukan diversifikasi produk sesuai dengan tuntutan pasar; (2) kemampuan penguasaan teknologi cepat melalui reverse engineering (contoh: computer clone); (3) besarnya tabungan masyarakat; (4) mutu pendidikan yang baik; dan (5) etos kerja. Diantara faktor-faktor tersebut, pendidikan (faktor 4) adalah merupakan simpul atau katalisator yang menyebabkan faktor-faktor 1,2,3 dan 5 terjadi. Ilustrasi ini memberikan aksentuasi tentang betapa pembangunan pendidikan sebagai upaya pengembangan sumberdaya manusia (SDM) menjadi semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa.
Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.
Memasuki abad ke-21, paradigma pembangunan yang merujuk knowledge-based economy tampak kian dominan. Paradigma ini menegaskan tiga hal. Pertama, kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada basis dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, hubungan kausalitas antara pendidikan dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid. Ketiga, pendidikan menjadi penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses transformasi struktural berjangka panjang. Sebagai ilustrasi, Jepang adalah negara Asia pertama yang menjadi pelopor pembangunan perekonomian berbasis ilmu pengetahuan. Setelah Jepang, menyusul negara-negara Asia Timur lain seperti Singapura, China, Taiwan, Hongkong, dan Korea Selatan.
PEMERATAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Indonesia adalah negara berkembang yang masih mengalami berbagai proses pembangunan. Di sektor pendidikan, Indonesia masih kurang mengembangkan SDM yang dimiliki masyarakat. Buktinya, dalam sebuah survei mutu pendidikan, Indonesia menempati urutan ketiga dari bawah di antara 40 negara lain.
Sistem pendidikan di Indonesia selalu disesuaikan dengan kondisi politik dan birokrasi yang ada. Padahal menurut saya, itu bukanlah masalah utama dalam meningkatkan mutu pendidikan. Yang lebih penting adalah bagaimana pelaksanaan di lapangan, termasuk kurangnya pemerataan pendidikan, terutama di daerah tertinggal.

Dapat terlihat bahwa pemerataan pendidikan di Indonesia belum tercapai, seperti dapat terlihat pada tahun 1999 angkaa Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD mencapai 94,4%. Namun, APM untuk usia SLTP masih berkisar 54,8% dan SLTA 31,5%. Ketidakmerataan ini umumnya terjadi pada kelompok masyarakat pedesaan dan kelompok miskin. Pemerataan pendidikan masyarakat miskin di Indonesia dapat dibagi menjadi pemerataan pendidikan formal dan non-formal.

  • Pendidikan Formal
Masalah pemerataan pendidikan merupakan masalah di bidang pendidikan pada negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dari periode 2001/02 sampai 2005/06, angka partisipasi murni SD di Indonesia cukup bagus sebesar 94,20%. Untuk level pendidikan SMP, SMU dan Perguruan Tinggi terjadi ketidakmerataan pendidikan dengan angka partisipasi bersekolah yang kecil.
Jika melihat angka partisipasi murni untuk usia SMP tahun 2005/2006 (data dari Depdiknas) maka menunjukkan angka 62,06% yang berarti 37,94% yang tidak dapat melanjutkan ke pendidikan SMP. Itupun belum memperhitungkan jumlah anak yang putus sekolah, maka jumlah tersebut akan berkurang. APM sebesar 42,64% pada level SMU, menunjukkan lebih besarnya jumlah anak usia SMU yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke level SMU. Hal ini juga belum memperhitungkan anak putus sekolah di level pendidikan SMU.
  • Pendidikan Non-formal
Seperti halnya pendidikan formal, pendidikan non-formal pun mengalami permasalahan dalam hal pemerataan pendidikan.Sampai dengan tahun 2006, pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah, apalagi pendidikan non formal yang pada umumnya membutuhkan biaya yang cukup mahal sehingga tidak dapat terangkau oleh masyarakat miskin.

FAKTOR PENGARUH PENDIDIKAN MASYARAKAT MISKIN RENDAH
Pemerataan pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang sangat rumit. Ketidakmerataan pendidikan di Indonesia ini terjadi pada lapisan masyarakat miskin. Faktor yang mempengaruhi ketidakmerataan ini disebabkan oleh faktor finansial atau keuangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mahal biaya yang dikeluarkan oleh individu. Indonesia merupakan negara berkembang yang sebagian besar masyarakatnya hidup pada taraf yang tidak berkecukupan. Masyarakat menganggap bahwa banyak yang lebih penting daripada sekedar membuang-buang uang mereka untuk bersekolah. Selain itu, biaya pendidikan di Indonesia yang relatif mahal jika dibandingkan negara lain meskipun biaya di beberapa tingkat pendidikan telah dibebaskan.
Terlihat bahwa faktor biaya menjadikan pendidikan masyarakat miskin menjadi lebih rendah dibandingkan masyarakat kota. Akses tempat tinggal pun dapat menjadi faktor rendahnya pendidikan masyarakat miskin. Masyarakat miskin yang biasanya bertempat tinggal di desa-desa memiliki akses jalan yang sulit dijangkau. Sehingga pendidikan yang masuk ke dalam masyarakt miskinpun  menjadi minim, padahal desa dapat membantu perekonomian menjadi lebih baik. Disini terlihat dari Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah namun Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang memiliki pendidikan, sehingga SDA yang melimpah kurang dimanfaatkan sebaik mungkin. Tidak hanya ditekankan pendidikan formal saja untuk dapat mengelola SDA, bisa saja pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan pemerintah untuk warga miskin agar dapat memanfaatkan SDA sebaik mungkin sehingga dapat memajukan dan membangun perekonomian.
Fenomena yang ada di Indonesia cukup ironis. Banyaknya lulusan sekolah tingkat menengah dan perguruan tinggi setiap tahunnya, ternyata tidak sebanding dengan lowongan pekerjaan yang disediakan. Hal itu jelas menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Bahkan angka pengangguran mencapai 9,5% per tahun. Untuk menuju pemerataan pendidikan yang efektif dan menyeluruh, kita perlu mengetahui beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi sektor pendidikan kita. Permasalahan itu antara lain mengenai keterbatasan daya tampung, kerusakan sarana prasarana, kurangnya tenaga pengajar, proses pembelajaran yang konvensional, dan keterbatasan anggaran. Hal inipun menjadi faktor pengaruh pendidikan masyarakat miskin menjadi rendah.
UPAYA PEMERINTAH MENANGGULANGI KETIDAKMERATAAN PENDIDIKAN
Merujuk UUD 1945 pasal 31 ayat 4, negara memiliki kewajiban untuk mengatasi rendahnya kemampuan sebagian masyarakat dalam membiayai pendidikan. Akan tetapi sayang, Namun UUD ’45 ternyata bukanlah landasan konstitusi yang dapat memaksa pemerintah untuk melaksanakan amanatnya. Pada kenyataannya, alokasi APBN pada bidang pendidikan masih saja pada bilangan yang sangat jauh dari ketentuan. Ironisnya biaya pendidikan semakin melambung tinggi tanpa mampu dikendalikan bahkan oleh pemerintah sekalipun. Tentu saja hal ini semakin memupuskan harapan rakyat miskin untuk mampu menjamah pendidikan yang layak dan berkualitas. Padahal pendidikan adalah hak mendasar dari setiap warganegara dalam rangka memperbaiki masa depan hidup generasi bangsa..
Dengan seiring berjalannya waktu, mengingat bahwa pendidikan itu sangat penting karena merupakan faktor yang menunjang kemajuan suatu negara, maka dewasa ini pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan tingkat pendidikan masyarakatnya, hal itu dapat dilihat sejak tahun 1984, Indonesia telah berupaya untuk memeratakan pendidikan formal Sekolah Dasar, kemudian dilanjutkan dengan Wajib Belajar Sembilan Tahun pada tahun 1994. Selain itu, pemerintah semakin intensif untuk memberikan bantuan berupa beasiswa, seperti Gerakan Orang Tua Asuh, Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Pengalihan alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah yang sebagian diperuntukkan bagi sektor pendidikan dan kesehatan mungkin bisa menjadi penghibur meski pada dasarnya, pendanaan sektor pendidikan seharusnya tidak mempersyaratkan naiknya harga BBM. Dari dana kompensasi bidang pendidikan direncanakan terdistribusi dalam bentuk beasiswa. Sekitar 9,6 juta anak kurang mampu usia sekolah menjadi sasaran dari program alokasi ini. Pada tahun 2003, setidaknya 1 dari 4 penduduk Indonesia termasuk miskin. Jika total penduduk Indonesia adalah sekitar 220 juta jiwa, maka berarti ada sekitar 60 juta jiwa saudara kita yang dalam kategori miskin. Artinya, apa yang sekarang sedang direncanakan pemerintah sangat mungkin belum dapat menjangkau semua rakyat miskin. Memang dibutuhkan cukup waktu untuk sampai ke situ. Yang jelas awal menuju ke arah itu telah dimulai. Dalam konteks ini sebaiknya dibuat suatu kriteria siapa-siapa saja yang urgen untuk mendapatkan bantuan, dan siapa saja yang bisa menunggu giliran berikutnya. Kriteria itu penting agar keputusan seleksi tidak sampai menimbulkan gejolak di masyarakat paling bawah. Oleh karena itu, proses seleksi seharusnya benar-benar dilakukan terbuka yang didasarkan oleh data lapangan yang seakurat mungkin. Terlebih, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap praktik distribusi anggaran yang dilakukan pemerintah sering berada di titik rendah.
Pemerataan pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang pembangunan Negara. Pemerataan pendidikan ini belum dilakukan secara merata terutama di kalangan masyarakat miskin. Pendidikan di Indonesia yang relatif mahal dan mayoritas penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan membuat pendidikan itu tidak merata dikalangan masyarakat miskin. Pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi ketidakmerataan pendidikan ini dengan cara Wajib Belajar Sembilan Tahun, pemberian beasiswa-beasiswa bagi masyarakat yang kurang mampu atau miskin, kemudian memberikan Bantuan Dana Operasional (BOS). Walaupun sudah diadakan sekolah gratis, Bantuan Dana Operasional (BOS), ataupun alokasi dana BBM, namun bantuan yang diberikan belum merata. Masih banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan apa  yang meharusnya mereka dapatkan, padahal seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

Kemiskinan-Pendidikan-Kebodohan satu paket yang tak terpisahkan di Bali

Jika angka-angka yang dipublikasi oleh BPS sudah tidak dapat dipercaya lagi, lalu apalagi yang bisa dipercaya di negeri ini?. Ketika rakyat sedang berada dalam kemiskinan, yang mengaku wakil rakyat justru dengan merasa tidak bersalah mendapatkan tunjangan ini dan itu, dimanakah hati nurani para pemimpin ini? Kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup yang menggambarkan kekurangan materi, biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, pelayanan kesehatan, dan kesempatan pendidikan (http://id.wikipedia.org).
Kalau kita renungkan sebuah kalimat yang berbunyi demikian „ Karena masyarakat miskin makanya mereka tidak bisa sekolah dan akhirnya mereka tetap bodoh“ Coba kita renungkan lagi kalimat yang berbeda namun bermakna agak mirip „ Karena masyarakat bodoh, makanya masyarakat menjadi miskin sehingga mereka tidak bisa sekolah“ atau juga renungkan kalimat yang lainnya „ Karena masyarakat tidak sekolah makanya mereka tetap bodoh dan akhirnya mereka menjadi miskin“ Kalimat tersebut mengandung makna bahwa persoalan kemiskinan, pendidikan, dan kebodohan adalah satu paket persoalan yang harus dituntaskan bersamaan.
Kemiskinan dapat disebabkan karena individu yang malas bekerja sehingga ia menjadi miskin namun hal ini sangat kecil jumlahnya di masyarkat kita walaupun memang ada. Ada indikasi lain bahwa kemiskinan masyarakat kita karena kesalahan struktur sosial dan kurangnya perhatian pemerintah.


Menurut catatan ADB, ternyata mayoritas masyarakat miskin Indonesia bekerja di sektor pertanian, artinya jika penduduk Indonesia yang bekerja di sector pertanian berjumlah 100 juta orang, kita dapat
membayangkan berapa banyaknya masyarakat Indonesia berada pada garis kemiskinan. Jika kita lihat masyarakat Bali yang masih mayoritas sebagai petani, itu juga dapat dipakai sebagai indikator bahwa
masyarakat Bali masih banyak berada dalam garis kemiskinan walapun sektor pariwisata memang harus diakui telah berhasil menjadi primadona Bali. Karena masyarakat Bali mayoritas sebagai petani, ada juga indikasi bahwa mereka tidak akan mampu menyekolahkan anak-anak mereka sampai benar-benar siap untuk bekerja. Jika semakin banyak anak-anak kita yang putus sekolah, bagaimana Bali ini bisa ajeg?
Dalam kontek pembangunan ke depan, sudah saatnya yel-yel dan dogma lama yang bernuansakan rayuan pulau kelapa dihilangkan karena itu juga membuat kita menjadi bangsa yang manja dan tak mau bekerja keras. Tidak ada lagi tongkat menjadi tanaman, tidak ada lagi nyiur hijau melambai-lambai, tidak ada lagi lautan menjadi kolam susu. Kita harus mau mengakui bahwa kita telah menjadi miskin, tanah sudah tidak sesubur dulu lagi karena tanah kita sudah terkena dampak penyempitan lahan dan
tercemar limbah. Kita harus mau mengakui bahwa kita bangsa yang korup karena memang benar adanya. Seiring dengan itu marilah kita sadar diri bahwa perjuangan saat ini bukanlah melawan penjajahan fisik namun kemiskinan, kebodohan dan peperangan melawan korupsi.
Coba kita lihat bangsa lain seperti Jepang, kenapa mereka mampu menjadi bangsa yang besar dan diperhitungkan di muka bumi ini, walaupun sebenarnya mereka tidak memiliki kekayaan alam semelimpah kekayaan alam Indonesia. Karena masyarkatnya yang tidak manja dan pekerja keras, masyarakat yang tekun menuntut ilmu, masyarakat yang tidak korup, masyarakat yang mau mengakui bahwa dirinya memang miskin sehingga mereka harus bekerja keras.  Pemimpin yang bersih dan berjiwa kesatria (mau mengakui kesalahan jika memang bersalah), kelian, lurah, camat, bupati, gubernur, menteri menteri yang mau memperjuangkan kepentingan rakyat, pemimpin yang layak ditiru dan digugu serta mampu menggerakkan masyarakat untuk bekerja keras sangat dinanti-nantikan saat ini.
Minimal tiga bidang yang menjadi dasar kebangkitan dan kemajuan sebuah bangsa dengan asumsi, tidak ada korupsi lagi.
 Bidang pangan
Ada anggapan yang mengatakan, jika masyarakat cukup pangan menurut standar gizi dan nutrisi yang ideal maka masyarakat akan hidup sehat. Artinya, pembangunan diarahkan untuk memenuhi pangan masyarakat, pangan tidak saja bermakna „beras“ namun juga termasuk jenis pangan yang lainnya. Harus ada inovasi-inovasi untuk menggerakankan sector pertanian agar berdaya dan bangga dengan sektor pertanian yang memang nyata-nyata masih dilakoni oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Sekolah-sekolah, fakultas pertanian digairahkan lagi bila perlu diberikan beasiswa khusus bagi mereka yang mau melanjutkan ke bidang tersebut dan tentu juga diarahkan untuk menjadi wirausahawan dibidang pertanian. Budidaya dengan sentuhan teknologi dan pembinaan petani untuk menjadi petani yang mampu bekerja dengan prinsip agrobisnis. Daripada membuat petani Vietnam menjadi kaya, kenapa tidak petani kita saja yang disubsidi agar mampu hidup layak? Daripada mensubsidi sepakbola kenapa petani ditinggalkan? Sektor perbankkan yang memiliki kebijakan khusus untuk penyaluran modal ke petani masih terus diperlukan, pembinaan para penyuluh pertanian yang sempat hilang digairahkan kembali.
 Bidang kesehatan
Sangat aneh sekali kita lihat, hampir setiap tahun kita mendengar dan menyaksikan namanya wabah demam berdarah, flu burung, dan berbagai jenis wabah lainnya, kenapa bisa terus terjadi? Persoalannya karena bidang kesehatan masih kurang mendapat perhatian yang serius, jikalau ada pembangunan rumah sakit yang canggih dan mewah itu hanyalah tujuan bisnis semata seolah-olah perkembangan jumlah orang sakit akan menjadi trend positip bagi keuntungan pengelola rumah sakit. Kenapa kita tidak menyadari semua itu? Kalau penyakit atau wabah bisa dicegah kenapa harus terjadi setiap tahun? Kalau pulau Bali sampai terpublikasi dan terindikasi sebagai pulau yang tidak sehat, karena masyarakatnya yang banyak sakit, apa jadinya pulau ini?
Ada indikasi, banyak para pekerja dibidang kesehatan tidak dilandasi pada prinsip pelayanan kemanusiaan yang sesungguhnya karena dari rekrutmen awal sudah harus membayar dengan harga yang mahal sehingga melahirkan seorang pekerja yang juga tidak sungguh-sungguh melayani sesama. Ditambah lagi memang kurangnya perhatian pemerintah terhadap bidang kesehatan, seolah-olah keberadaan penyakit dibiarkan begitu saja. Daripada memberikan tunjangan kepada anggota dewan yang sudah kaya dengan gajinya, kenapa tidak dipakai untuk subsidi bidang kesehatan bagi masyarakat miskin saja. Kenapa para petugas kesehatan hanya menunggu pasien di rumah sakit?, bukankah melakukan pengamatan langsung di lapangan jauh lebih baik sehingga tindakan pencegahan dapat dilakukan sedini mungkin.
 Bidang pendidikan
Kalau Kabupaten Jembrana mampu meng-gratiskan sekolah, kenapa kabupaten lain di Bali tidak mau berbuat yang sama? Bukankah Jembrana tidak lebih kaya dari yang lainnya? Artinya, masih kurangnya pemerintah pada bidang pendidikan masih sangat terasa. Besarnya angka drop-out masih dianggap biasa-biasa saja, kurangnya fasilitas sekolah negeri, rendahnya kualitas guru imbas dari rendahnya pendapatnya kurang mendapat perhatian yang serius sehingga lagu Iwan Fals dengan judul Oemar Bakrie menjadi lagu wajib tiap bulan sampai saat ini. Rekrutment calon guru yang berbau KKN masih tetap ada di tengah raungan reformasi. Daripada mensubsidi sepakbola kenapa tidak membangun perpustakaan keliling, internet keliling, dan fasilitas lain yang berkaitan dengan pendidikan. Bukan berarti mengganggap sepakbola tidak penting, namun ada yang lebih penting untuk diperhatikan. Jika masyarakat kita pintar (bukan sok pintar) maka pembangunan akan dapat dilakukan dengan baik. Jika masyarakat kita bodoh karena tidak mendapatkan pendidikan yang cukup, maka kita akan menjadi masyarakat yang gampang ditipu termasuk juga oleh pemimpin kita sendiri.
Akhirnya, jika bangsa cukup makan, rumah, dan juga pakaian maka bangsa ini hidup sehat dan mampu menuntut ilmu dengan baik untuk perbaikan generasi yang akan datang.

Kamis, 10 Februari 2011

Ujian Nasional dan Kekuasaan Hegemoni Negara

Pada awal masa baktinya, Mendiknas, Bambang Sudibyo, banyak menuai kritik. Kapasitasnya sebagai ekonom dinilai kurang tepat untuk mengurus masalah pendidikan yang demikian rumit dan kompleks. Untuk membuktikan kelayakannya sebagai orang nomor satu di jajaran Depdiknas, dia mencanangkan tekad untuk melahirkan manusia Indonesia yang memiliki kecerdasan menyeluruh, yakni cerdas secara rohaniah, intelektual, sosial, emosional, estetika, dan kinestetik melalui sistem pendidikan nasional.


Mendiknas juga bertekad untuk menghapus ujian nasional (UN). Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi X DPR RI dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada 14 Maret 2006, misalnya, dia meminta BSNP untuk melakukan kaji ulang antara kesesuaian ujian nasional dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, tekad Mendiknas belum juga terwujud. UN tetap jalan terus. “Ancaman” Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang akan mengelar aksi besar-besaran akibat banyaknya anak genius yang gagal menghadapi UN tahun lalu pun tidak meruntuhkan semangat pemerintah untuk mendongkrak mutu pendidikan lewat UN. Tampaknya, Mendiknas tak berdaya menghadapi gencarnya desakan Wapres, Jusuf Kalla, agar UN tetap digelar.
Bisa jadi benar apa yang dikemukakan oleh pakar kebijakan pendidikan, Tilaar (2003), bahwa kurikulum merupakan perangkat pendidikan yang kerap dijadikan ruang intervensi kekuasaan transmitif (legitimatif), yaitu pelanggengan ideologi para penguasa terhadap rakyat atau peserta didik yang amat kental dengan nuansa budaya indoktrinasi, top down, dan politik penguasa sebagai penyetir dunia pendidikan. Kurikulum pendidikan lebih kental beraroma kepentingan-kepentingan kelompok elite. Dunia pendidikan telah terkooptasi oleh kekuasaan hegemoni negara. Imbasnya, dunia pendidikan kita dinilai hanya akan melahirkan proses penggiringan, pembodohan, dan penjinakan warga oleh kepentingan segelintir elit penguasa.
Pendidikan yang semestinya menjadi alat perjuangan dan perlawanan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan menjadi lumpuh dan tak berdaya. Pendidikan yang idealnya mampu menumbuhsuburkan nilai budaya pembebasan dalam proses pembelajaran tak lebih hanya sekadar “kuda tunggangan” demi memenuhi ambisi sekelompok elite yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Ruang kebebasan berekspresi dan alternatif pilihan yang merdeka bagi setiap warga negara pun nyaris tak bergema dari balik tembok-tembok sekolah.
Kini, pemerintah telah membunyikan “tambur” kekuasaannya. The Show must go on! Ujian Nasional (UN) telah resmi dicanangkan sebagai jembatan akhir anak-anak bangsa negeri ini dalam meniti masa depannya melalui tingkat satuan pendidikan masing-masing. Mendiknas telah meluncurkan keputusan Nomor 34 Tahun 2007 tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2007/2008. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) juga telah mengeluarkan keputusan Nomor 984/BSNP/XI/2007 tentang Prosedur Operasi Standar (POS) UN tahun 2007/2008.
Saat-saat yang menegangkan pun mulai berdenyut di berbagai daerah. Jika tidak ada aral melintang, UN SMA/MA/SMK dilaksanakan pada 22 s.d. 24 April 2008, sedangkan UN SMP, MTs, SMPLB, dan SMALB digelar pada 5 s.d. 8 Mei 2008. Ibarat menunggu lonceng kematian, tidak sedikit birokrat pendidikan di daerah yang mulai dicekam kepanikan. Dunia pendidikan kita seperti menyimpan api dalam sekam. Dalam Permendiknas Nomor 34 Tahun 2007 disebutkan bahwa peserta UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN, yaitu (1) memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan Minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN; atau (2) memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dan nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,00, dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN.
Banyak kalangan menilai, pematokan angka kelulusan semacam itu jauh dari rasa keadilan karena mengebiri kemampuan siswa secara individual. Siswa didik yang sama sekali tidak memiliki minat dan kemampuan di bidang Matematika, tetapi memiliki kelebihan di bidang bahasa, misalnya, bisa jadi dia dia tidak akan pernah bisa lulus lantaran gagal mencapai patokan nilai yang telah dipersyaratkan. Sekadar contoh, taruhlah, misalnya si A mendapatkan nilai Matematika 3,00, sedangkan nilai Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan IPA, masing-masing mendapatkan nilai 9, 00. Rata-rata nilai yang diperoleh si A adalah 7,50. Bandingkan dengan nilai si B, yang mendapatkan nilai setiap mata pelajaran , misalnya, 5,25, sehingga rata-rata nilai yang diperoleh adalah 5,25. Berdasarkan kriteria, si A tidak lulus, sedangkan si B bisa lulus dengan mulus, meskipun dengan nilai pas-pasan.
Kalau boleh menilai, kompetensi si A jelas lebih memiliki “nilai tambah” yang bisa diandalkan untuk membangun masa depan negeri ini karena hanya memiliki kelemahan di satu bidang saja dibandingkan dengan si B yang memiliki kemampuan pas-pasan secara merata di seluruh bidang. Di sinilah letak ketidakadilan itu! Siswa didik yang memiliki nilai rata-rata “hebat” bisa saja tersungkur akibat tertebas “ganas”-nya pedang UN karena gagal meraih nilai minimal yang dipersyaratkan. Ini artinya, UN nyata-nyata telah mengebiri potensi anak secara individual yang akan berimbas pada terbunuhnya “talenta” anak-anak negeri ini sejak dini. Tak heran apabila pendidikan di negeri ini gagal melahirkan generasi masa depan yang memiliki jiwa “enterprenuer” sejati lantaran telah “dibunuh” sebelum berkembang. Yang bisa dihasilkan hanyalah para tukang dan robot-robot masa depan yang hanya tunduk dan patuh pada komando sang majikan.
Ironisnya, dalam upaya mendongkrak angka kelulusan, pejabat pendidikan di daerah banyak yang “kebakaran jenggot” dan menghalalkan segala cara. Demi mengangkat citra dan marwah daerah, mereka merasa perlu membentuk tim sukses secara berjenjang yang bertugas mengawal sekaligus mengantarkan para murid sukses menempuh UN. Siapa lagi kalau bukan guru yang mesti menanggung beban? Menjelang ujian, mereka harus tampil bak “pesulap” yang harus melahirkan para penghafal kelas wahid secara instan. Berangkat pagi pulang sore demi mencekoki siswa didiknya lewat drill soal-soal UN. Murid-murid diperlakukan bak “keledai”; patuh dan penurut, tanpa sedikit pun diberi ruang dan kesempatan untuk berpikir –apalagi mendebat— secara kreatif dan terbuka. Terpasung dalam kerangkeng keilmuan yang semu, jenuh, dan membosankan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang gencar digembar-gemborkan itu tidak lagi punya makna. Proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (baca: Paikem) pun hanya mengapung-apung dalam slogan. Celakanya, tidak sedikit sekolah yang terpaksa mengorbankan mapel non-UN. Jika perlu, hanya mapel UN saja yang digelontorkan ke dalam “tempurung” kepala para murid. Toh, soal-soal ujian mapel non-UN disusun dan dikoreksi oleh guru sendiri sehingga lebih gampang diatur. Paradigma “potong kompos” seperti inilah yang seharusnya segera dihentikan lantaran –disadari atau tidak– makin mempercepat proses pembusukan iklim dan atmosfer dunia pendidikan kita. Jika dibiarkan terus mengakar dan mewabah, bukan mustahil dambaan untuk menghasilkan manusia yang memiliki kecerdasan menyeluruh –utuh dan paripurna– seperti yang pernah dilontarkan oleh Mendiknas hanya sekadar retorika belaka.
Meskipun demikian, tidak lantas berarti UN menjadi tidak bermakna sama sekali. Bagaimanapun juga dalam sistem atau proses pendidikan diperlukan evaluasi untuk mengukur mutu serta akuntabilitas penyelenggara pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas. Persoalannya sekarang, bagaimanakah menjembatani antara mutu dan akuntabilitas pendidikan tanpa mengabaikan proses yang dijalani guru dan siswa.
Dalam kondisi demikian, idealnya UN hanya digunakan untuk kepentingan pemetaan mutu pendidikan secara nasional, sedangkan kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme yang ada di sekolah. Dengan cara demikian, proses kelulusan akan mampu memotret kompetensi siswa didik secara komprehensif, utuh, dan menyeluruh, baik dari sisi catatan akademis maupun perilaku siswa di sekolah. Tentu saja hal ini memerlukan “kemauan politik” untuk saling percaya antara pemerintah dan pengelola sekolah, termasuk guru.
Jangan sampai terjadi fenomena pengambilalihan penentuan kelulusan siswa dari mekanisme sekolah oleh pemerintah melalui UN terus berlangsung. Sudah saatnya dunia pendidikan kita melepaskan diri dari kekuasaan hegemoni negara. Dunia pendidikan –meminjam istilah Mochtar Buchori (1995)—harus mampu menentukan sistem untuk dirinya sendiri; perubahan-perubahan apa yang boleh terjadi dan apa yang tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dunia pendidikan harus lebih aktif untuk mengarahkan pertumbuhan dirinya dan tidak menyerah begitu saja kepada perintah dan imbauan yang datang dari luar.