Senin, 24 Januari 2011

Kondisi Pendidikan di Indonesia

Di saat ini kondisi pendidikan sudah di ujung kehancuran. Pendidikan yang seharusnya menjadi prioritas utama dan utama yang diharapkan dapat mengentaskan dari segala permasalahan bangsa ternyata sampai saat ini pemerintah hanya menempatkan aspek pendidikan sebagai prioritas belanja negara pada nomor bucit. Alhasil pendidikan nasional kita kalah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Brunai, Cina negara yang komunis, bahkan Vietnam, negara yang baru saja merdeka beberapa tahun lalu. Tidak hanya itu, pendidikan yang harusnya memperoleh pembiayaan yang layak (menurut hasil amandemen UUD 1945 minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) ternyata hanya mendapatkan pembiayaan kurang dari 5% masih kalah dengan anggaran belanja pada aspek pertahanan dan keamanan, selain itu juga departeman yang menaungi pendidikan yaitu Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) ternyata juga lembaga atau institusi sarang penyamun karena banyak pembiayaan pendidikan yang harusnya digunakan untuk membiayai pendidikan digunakan untuk membiayai isi perut oknum pejabat.
Melalui latar belakang tersebut, seorang aktivis PUSHAM UII yang bermukim di Yogyakarta tepatnya di Kota Gede berusaha mengaktualisasikan tulisan yang berisikan pemikiran dan kritikan terhadap pemerintah dan masyarakat. Masyarakat yang diberikan hadiah kritikan ternyata tidak hanya masyarakat awam yang tidak peduli terhadap pendidikan hanya mempedulikan isi perutnya, tetapi juga kepada masyarakat pendidikan seperti tenaga pendidikan (guru, dosen, dan lain-lain).
 
Buku Orang Miskin Dilarang Sekolah! yang ditulis oleh Eko Prasetyo bekerjasama tergolong di dalam buku Seri Dilarang Miskin ini yang bertujuan untuk memprovokasi pembaca agar lebih kritis kembali dalam menyikapi permasalahan dalam bidang pendidikan.

Buku ini sebenarnya terbagi menjadi enam bagian, yang di dalamnya berisikan sebuah kondisi riil (nyata) pendidikan yang sudah tidak layak untuk mencerdaskan seluruh anak bangsa.
Bagian pertama, yaitu “Yang Pintar Yang Kaya” membicarakan tentang kondisi pendidikan hanya membuat masyarakat Indonesia harus menjadi miskin. Masyarakat Indonesia yang mayoritas sudah miskin ditambah lagi dengan penyiksaan dalam bentuk pendidikan yang diterima oleh masyarakat miskin Indonesia. Selain itu, bagian ini juga dituliskan tentang tuntutan pendidikan harus murah kepada pemerintah. Tuntutan pedidikan murah ini dikarenakan melihat pendidikan hanya mampu dinikmati oleh golongan menengah ke atas sedangkan untuk keluarga yang miskin dan keluarga prasejahtera tidak dapat menikmati pendidikan baik pendidikan dasar, menengah, ataupun pendidikan tinggi.
Bagian kedua “Sekolah di bawah Kekuasaan Modal” menceritakan tentang bagaimana merosotnya kualitas pendidikan yang dipengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah yang hampir menyamakan lembaga pendidikan dengan lembaga keuangan. Penyamaan kedua lembaga tersebut berakibat dengan lembaga pendidikan semakin tergantung dengan kepentingan pengusaha. Selain itu bagian ini juga menceritakan tentang akibat dari ketergantungan lembaga pendidikan terhadap kekuasaan pengusaha yang hanya mencari keuntungan. 

Bagian ketiga menceritakan tentang diskriminasi pemerintah terhadap pendidikan dengan aspek-aspek lainnya seperti dalam hal penggajian guru, sehingga kekerasan yang melanda di dunia pendidikan sering bermunculan dan guru yang harusnya dihormati oleh masyarakat tidak lagi dihormati. Sedangkan pada bagian keempat menceritakan output yang diperoleh dari lembaga pendidikan saat ini. Hasil atau output dari sebuah lembaga pendidikan yang menerapkan sebuah sistem pendidikan yang sudah tidak sesuai dengan kondisi dan kultural bangsa Indonesia berakibat jumlah pengangguran semakin meningkat atau jika sudah mendapatkan pekerjaan masyarakat akan menjadi sosok pejabat atau pekerja yang selalu membodohi rakyatnya (penjahat rakyat).

Bagian kelima, berisikan sebuah tuntutan dari penulis kepada pemerintah kepada lembaga pendidikan. Tuntutan tersebut adalah pendidikan yang murah. Penulis tidak hanya memberikan sebuah tuntutan kepada pemerintah atau lembaga pendidikan untuk menciptakan pendidikan yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa ada diskriminasi dalam pendidikan, tetapi juga disertai sebuah cara atau solusi untuk dapat merealisasikan tuntutan tersebut.

Bagian keenam atau bagian terakhir berisikan sebuah epilog tentang pendidikan. Pada epilog ini penulis hampir menyimpulkan beberapa tulis dari beberapa bagian terdahulu, selain itu penulis juga menyertai strategi untuk melawan kondisi sekolah yang mahal serta sebuah suasana sekolah idaman untuk masa depan.

Sebagai bahan referensi atau bacaan tambahan untuk membuat atau menuliskan sebuah karya tulis, buku yang disertai dengan pesan-pesan moral, gambar-gambar kartun atau komik-komik yang kritik menggelitik sangat layak untuk dibaca oleh segala usia, dan segala tingkat pendidikan karena buku yang mengambil referensi dari beberapa media cetak atau media elektronik seperti koran, buletin, dan film-film ini berisikan kondisi riil atau kondisi nyata sebuah pendidikan nasional kita yang sudah semakin terpuruk dan sangat sulit untuk bangkit dari keterpurukan jika tidak ada perhatian sedikit pun dari semua elemen bangsa Indonesia ini.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar