Kamis, 10 Februari 2011

Ujian Nasional dan Kekuasaan Hegemoni Negara

Pada awal masa baktinya, Mendiknas, Bambang Sudibyo, banyak menuai kritik. Kapasitasnya sebagai ekonom dinilai kurang tepat untuk mengurus masalah pendidikan yang demikian rumit dan kompleks. Untuk membuktikan kelayakannya sebagai orang nomor satu di jajaran Depdiknas, dia mencanangkan tekad untuk melahirkan manusia Indonesia yang memiliki kecerdasan menyeluruh, yakni cerdas secara rohaniah, intelektual, sosial, emosional, estetika, dan kinestetik melalui sistem pendidikan nasional.


Mendiknas juga bertekad untuk menghapus ujian nasional (UN). Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi X DPR RI dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada 14 Maret 2006, misalnya, dia meminta BSNP untuk melakukan kaji ulang antara kesesuaian ujian nasional dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, tekad Mendiknas belum juga terwujud. UN tetap jalan terus. “Ancaman” Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang akan mengelar aksi besar-besaran akibat banyaknya anak genius yang gagal menghadapi UN tahun lalu pun tidak meruntuhkan semangat pemerintah untuk mendongkrak mutu pendidikan lewat UN. Tampaknya, Mendiknas tak berdaya menghadapi gencarnya desakan Wapres, Jusuf Kalla, agar UN tetap digelar.
Bisa jadi benar apa yang dikemukakan oleh pakar kebijakan pendidikan, Tilaar (2003), bahwa kurikulum merupakan perangkat pendidikan yang kerap dijadikan ruang intervensi kekuasaan transmitif (legitimatif), yaitu pelanggengan ideologi para penguasa terhadap rakyat atau peserta didik yang amat kental dengan nuansa budaya indoktrinasi, top down, dan politik penguasa sebagai penyetir dunia pendidikan. Kurikulum pendidikan lebih kental beraroma kepentingan-kepentingan kelompok elite. Dunia pendidikan telah terkooptasi oleh kekuasaan hegemoni negara. Imbasnya, dunia pendidikan kita dinilai hanya akan melahirkan proses penggiringan, pembodohan, dan penjinakan warga oleh kepentingan segelintir elit penguasa.
Pendidikan yang semestinya menjadi alat perjuangan dan perlawanan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan menjadi lumpuh dan tak berdaya. Pendidikan yang idealnya mampu menumbuhsuburkan nilai budaya pembebasan dalam proses pembelajaran tak lebih hanya sekadar “kuda tunggangan” demi memenuhi ambisi sekelompok elite yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Ruang kebebasan berekspresi dan alternatif pilihan yang merdeka bagi setiap warga negara pun nyaris tak bergema dari balik tembok-tembok sekolah.
Kini, pemerintah telah membunyikan “tambur” kekuasaannya. The Show must go on! Ujian Nasional (UN) telah resmi dicanangkan sebagai jembatan akhir anak-anak bangsa negeri ini dalam meniti masa depannya melalui tingkat satuan pendidikan masing-masing. Mendiknas telah meluncurkan keputusan Nomor 34 Tahun 2007 tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2007/2008. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) juga telah mengeluarkan keputusan Nomor 984/BSNP/XI/2007 tentang Prosedur Operasi Standar (POS) UN tahun 2007/2008.
Saat-saat yang menegangkan pun mulai berdenyut di berbagai daerah. Jika tidak ada aral melintang, UN SMA/MA/SMK dilaksanakan pada 22 s.d. 24 April 2008, sedangkan UN SMP, MTs, SMPLB, dan SMALB digelar pada 5 s.d. 8 Mei 2008. Ibarat menunggu lonceng kematian, tidak sedikit birokrat pendidikan di daerah yang mulai dicekam kepanikan. Dunia pendidikan kita seperti menyimpan api dalam sekam. Dalam Permendiknas Nomor 34 Tahun 2007 disebutkan bahwa peserta UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN, yaitu (1) memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan Minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN; atau (2) memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dan nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,00, dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN.
Banyak kalangan menilai, pematokan angka kelulusan semacam itu jauh dari rasa keadilan karena mengebiri kemampuan siswa secara individual. Siswa didik yang sama sekali tidak memiliki minat dan kemampuan di bidang Matematika, tetapi memiliki kelebihan di bidang bahasa, misalnya, bisa jadi dia dia tidak akan pernah bisa lulus lantaran gagal mencapai patokan nilai yang telah dipersyaratkan. Sekadar contoh, taruhlah, misalnya si A mendapatkan nilai Matematika 3,00, sedangkan nilai Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan IPA, masing-masing mendapatkan nilai 9, 00. Rata-rata nilai yang diperoleh si A adalah 7,50. Bandingkan dengan nilai si B, yang mendapatkan nilai setiap mata pelajaran , misalnya, 5,25, sehingga rata-rata nilai yang diperoleh adalah 5,25. Berdasarkan kriteria, si A tidak lulus, sedangkan si B bisa lulus dengan mulus, meskipun dengan nilai pas-pasan.
Kalau boleh menilai, kompetensi si A jelas lebih memiliki “nilai tambah” yang bisa diandalkan untuk membangun masa depan negeri ini karena hanya memiliki kelemahan di satu bidang saja dibandingkan dengan si B yang memiliki kemampuan pas-pasan secara merata di seluruh bidang. Di sinilah letak ketidakadilan itu! Siswa didik yang memiliki nilai rata-rata “hebat” bisa saja tersungkur akibat tertebas “ganas”-nya pedang UN karena gagal meraih nilai minimal yang dipersyaratkan. Ini artinya, UN nyata-nyata telah mengebiri potensi anak secara individual yang akan berimbas pada terbunuhnya “talenta” anak-anak negeri ini sejak dini. Tak heran apabila pendidikan di negeri ini gagal melahirkan generasi masa depan yang memiliki jiwa “enterprenuer” sejati lantaran telah “dibunuh” sebelum berkembang. Yang bisa dihasilkan hanyalah para tukang dan robot-robot masa depan yang hanya tunduk dan patuh pada komando sang majikan.
Ironisnya, dalam upaya mendongkrak angka kelulusan, pejabat pendidikan di daerah banyak yang “kebakaran jenggot” dan menghalalkan segala cara. Demi mengangkat citra dan marwah daerah, mereka merasa perlu membentuk tim sukses secara berjenjang yang bertugas mengawal sekaligus mengantarkan para murid sukses menempuh UN. Siapa lagi kalau bukan guru yang mesti menanggung beban? Menjelang ujian, mereka harus tampil bak “pesulap” yang harus melahirkan para penghafal kelas wahid secara instan. Berangkat pagi pulang sore demi mencekoki siswa didiknya lewat drill soal-soal UN. Murid-murid diperlakukan bak “keledai”; patuh dan penurut, tanpa sedikit pun diberi ruang dan kesempatan untuk berpikir –apalagi mendebat— secara kreatif dan terbuka. Terpasung dalam kerangkeng keilmuan yang semu, jenuh, dan membosankan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang gencar digembar-gemborkan itu tidak lagi punya makna. Proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (baca: Paikem) pun hanya mengapung-apung dalam slogan. Celakanya, tidak sedikit sekolah yang terpaksa mengorbankan mapel non-UN. Jika perlu, hanya mapel UN saja yang digelontorkan ke dalam “tempurung” kepala para murid. Toh, soal-soal ujian mapel non-UN disusun dan dikoreksi oleh guru sendiri sehingga lebih gampang diatur. Paradigma “potong kompos” seperti inilah yang seharusnya segera dihentikan lantaran –disadari atau tidak– makin mempercepat proses pembusukan iklim dan atmosfer dunia pendidikan kita. Jika dibiarkan terus mengakar dan mewabah, bukan mustahil dambaan untuk menghasilkan manusia yang memiliki kecerdasan menyeluruh –utuh dan paripurna– seperti yang pernah dilontarkan oleh Mendiknas hanya sekadar retorika belaka.
Meskipun demikian, tidak lantas berarti UN menjadi tidak bermakna sama sekali. Bagaimanapun juga dalam sistem atau proses pendidikan diperlukan evaluasi untuk mengukur mutu serta akuntabilitas penyelenggara pendidikan sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas. Persoalannya sekarang, bagaimanakah menjembatani antara mutu dan akuntabilitas pendidikan tanpa mengabaikan proses yang dijalani guru dan siswa.
Dalam kondisi demikian, idealnya UN hanya digunakan untuk kepentingan pemetaan mutu pendidikan secara nasional, sedangkan kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme yang ada di sekolah. Dengan cara demikian, proses kelulusan akan mampu memotret kompetensi siswa didik secara komprehensif, utuh, dan menyeluruh, baik dari sisi catatan akademis maupun perilaku siswa di sekolah. Tentu saja hal ini memerlukan “kemauan politik” untuk saling percaya antara pemerintah dan pengelola sekolah, termasuk guru.
Jangan sampai terjadi fenomena pengambilalihan penentuan kelulusan siswa dari mekanisme sekolah oleh pemerintah melalui UN terus berlangsung. Sudah saatnya dunia pendidikan kita melepaskan diri dari kekuasaan hegemoni negara. Dunia pendidikan –meminjam istilah Mochtar Buchori (1995)—harus mampu menentukan sistem untuk dirinya sendiri; perubahan-perubahan apa yang boleh terjadi dan apa yang tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dunia pendidikan harus lebih aktif untuk mengarahkan pertumbuhan dirinya dan tidak menyerah begitu saja kepada perintah dan imbauan yang datang dari luar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar